Minggu, 06 Januari 2008

BUY ONE GET ONE FREE

BUY 1 GET 1 FREE
Suatu saat saya pergi ke Poli Gigi Rumah Sakit di pinggiran Surabaya untuk cabut gigi . Mata saya langsung tertuju pada gelas disamping kiri Dental Unit tempat saya duduk dan diperiksa. Saya tanyakan ke Dokter Giginya apakah 1 gelas itu dipakai untuk 1 pasien ? Dokter Gigi itu menjawab bahwa gelas itu memang satu satu (mungkin maksudnya satu-satunya yang tersedia). Kemudian gigi saya dicabut, dan keesokan harinya saya batuk-batuk tanpa sebab yang jelas.
Seorang penderita radang usus buntu datang ke Rumah Sakit untuk dilakukan Appendectomy (operasi untuk mengangkat usu buntu nya). Oleh pihak Rumah Sakit, penderita tersebut ditempatkan pada satu ruangan di kelas III (zaal) bersama dengan penderita Demam Berdarah. Keesokan harinya penderita usus buntu itu dioperasi dan berjalan dengan baik untuk kemudian bisa pulang esok harinya. Beberapa hari kemudian penderita tadi datang lagi ke Rumah Sakit dengan keluhan panas yang tidak turun-turun dan mual muntah serta badannya lemas. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan lainnya maka bisa diambil diagnose bahwa pasien menderita Demam Berdarah.
Di Poli Anak Rumah Sakit tengah kota, praktek seorang Dokter Spesialis Anak senior. Ada seorang ibu menggendong anaknya yang baru berusia 6 bulan dan mengalami batuk serta sumer-sumer. Setelah diperiksa secara seksama oleh sang dokter, si Ibu diberi resep yang berisi 2 macam antibiotika kelas wahid, 3 macam obat batuk, 1 macam obat panas dan 2 macam vitamin. Jadi total obat yang harus ditebus (dibayar) dan dibawa si Ibu 8 macam puyer. Keesokan harinya si anak tidak batuk dan sumer lagi, tapi si Ibu tetap meminumkan antibotika nya sampai habis sesuai anjuran Dokter. Selang beberapa saat kemudian si Ibu dan anak pulang ke kota kelahirannya. Kebetulan saat pulang itu, si anak batuk dan sumer-sumer lagi. Si Anak dibawa ke Dokter Umum terdekat dan diberi 1 macam Antibiotika biasa serta obat batuk dan panas. Apa yang terjadi? Si Anak tetap batuk dan panas sehingga harus dirawat di Rumah Sakit sampai 1 minggu dan harus disuntik dengan Antibiotika kelas wahid.
Di Rumah Sakit tengah kota pula, ada seorang pasien yang dioperasi Lipoma (uci-uci) nya pada pagi hari dengan pembiusan lokal di tempat lipoma nya. Operasi berjalan sukses, tapi penderita masih harus opname di rumah sakit itu selama 3 hari dengan dalih untuk memulihkan stamina dan melihat apakah ada efek samping dari operasi nya.
Apa yang terjadi dengan keempat orang diatas adalah contoh sebagian besar pelayanan kesehatan di Surabaya maupun di Jawa Timur. Kejadian pertama menggambarkan seseorang yang dapat tambahan bonus batuk karena kumur memakai gelas yang telah dipakai orang lain yang kebetulan sedang terkena infeksi saluran pernafasan akut.
Sementara orang kedua, walaupun radang usus buntu nya sembuh, dia dapat bonus Demam Berdarah sebagi akibat dari Infeksi Nosokomial (infeksi baru yang terjadi di rumah sakit). Bagaimana dengan anak ketiga? Karena dia mendapatkan Antibiotika jenis terbaru (generasi keempat), padahal hanya untuk batuk pilek. Secara teori kasus terbanyak batuk pilek disebabkan virus dan tidak perlu Antibiotika. Kalaupun butuh Antibiotika tentu cukup diberi Antibiotika yang generasi pertama saja karena sebelumnya si anak belum pernah sakit dan mendapatkan Antibiotika. Sebagai akibatnya, saat dia mengalami hal yang sama, mau tidak mau harus meminum Antibiotika yang paling tidak sama dengan Antibiotika terdahulu. Antibiotika kelas dibawahnya sudah tidak mampu melawan lagi. Dilihat dari sisi jumlah, obat yang 8 macam itu, bisa diambil kesimpulan bahwa dokter nya justru tidak mengerti sakit si anak sehingga memberi obat yang macamnya banyak. Mungkin si Dokter berpikiran, kalaupun luput 1 obat, barangkali tidak luput dengan obat yang lain. Kalaupun obat itu benar, mudahkah si ibu meminumkan 8 macam puyer obat ke si anak? Apalagi sehari ada yang 1 kali, 2 kali, dan 3 kali. Tentu satu kesulitan tersendiri.
Kasus terakhir bisa saja sebagai akibat dari kebijakan rumah sakit agar kasus yang mestinya bisa One day care (Perawatan 1 hari dan langsung pulang) menjadi two day care, three day care atau bahkan I don’t care (saya tidak peduli ) lagi berapa hari dirawat. Sudah terlalu banyak kasus-kasus sejenis di rumah sakit.
Ada hal yang selama ini dilupakan teman-teman sejawat Dokter, Keamanan Pasien (Patient Safety). Selama ini yang selalu menjadi perhatian adalah Keamanan Dokter (Doctor Safety). Bagaimana caranya supaya tidak tertular penyakit si pasien, memasukkan jarum suntik dengan satu tangan, pakai masker, dll. Untuk pasiennya ? belum ada. Patient Safety harus mulai dipikirkan, terutama di kalangan Rumah Sakit Muhammadiyah, karena kita juga mengemban amanah sebagai media dakwah. Bagaimana caranya supaya Infeksi Nosokomial tidak terjadi pada pasien, pasien tidak mendapatkan obat yang berlebihan, dan masa rawat inap tidak diperpanjang. Secara logika, bisa diambil kesimpulan kasar bahwa, semakin lama seseorang dirawat di rumah sakit, semakin tidak segera terdiagnosa sakitnya, maka bisa dianggap dokternya kurang cakap, entah itu dalam penegakan diagnosa apalagi terapi (pengobatan) nya. Obat hanya berdasarkan keluhan yang timbul tanpa dicari akar permasalahan (penyakit yang mendasari) nya.
Pada satu Rumah Sakit, peran Dokter sangat penting sehingga diperlukan standarisasi pengobatan, agar dalam memberi obat pada pasien tidak seperti “waktu berdoa”, sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing. Untuk itu diperlukan Manajemen Resiko Klinik yang melibatkan unsur-unsur lain, bukan hanya lintas spesialis tapi juga lintas disipliner sehingga buy 1 get 1 free tidak terjadi. Berobat gigi dapat bonus batuk, berobat radang usus buntu dapat demam berdarah, berobat batuk, dapat resistensi kuman, serta berobat 1 hari dapat bonus 2 hari. “Buy 1 get 1 free” (beli 1 gratis 1) boleh saja terjadi di mall-mall, tapi tidak di rumah sakit, apalagi Rumah Sakit Muhammadiyah.
Dr Tjatur Prijambodo
Komite Medis Rumah Sakit Muhammadiyah Surabaya
1 September 2007