Senin, 27 Oktober 2008

SUNGGUH

SUNGGUH

Sungguh,
berapa banyak air mata
yang bisa kukuras
di telaga ampunanMu

Sungguh,
tak ada yang bisa kubayar
selain tangis di sajadah
yang masih bisa kugelar
di sepanjang
selaksa malam ini.

Sungguh,
daun-daun qolbu
terus mengaminkan doa,
yang jatuh
di tiap kelopak jiwa,
sebelum bertemu tanah…
bersimpuh….
Kembali kepadaMu

Sungguh,
jalanMu kutunggu,
ketika diri ditikam
badai kefanaan.

Masihkah dapat kugapai
WajahMu…
walau sejenak ?

TAHAJUDKU

TAHAJUDKU

Ribuan tetes air mata
yang membasahi
hamparan sajadah,
takkan mampu menghapus
jutaan kealpaan
yang senantiasa terabaikan.
Sementara
milyaran maghfirohMU
hanya mampu kami jumput
Dalam nikmatnya
berbelai kasih denganMU
malam ini.
Robb, ampuni kami

TANGISKU

TANGISKU

Tangisku adalah…
langkah kecil
di halaman rumah MU
Sementara….
aku tak berani
mengetuknya
Hanya bolak-balik
Cemas…
Gugup…
Galau.

Robb,…
Ketika angin terbantun,
kristal waktu mengembun,
dan
ombak hati melantun
di celah-celah subuh….
menjamah relung cinta…
dan kasih.
Ya Illahi robbi,…
Aku rindu hadir MU

Minggu, 26 Oktober 2008

SURGA KECIL ITU BERNAMA KELUARGA


SURGA KECIL ITU BERNAMA KELUARGA

Sore itu semburat cahaya jingga belum hendak beranjak, saat langkah kaki menapaki teras rumah. Perlahan membuka pintu yang belum terkunci, berharap orang-orang terkasih di dalam tak terganggu oleh suara butut ‘kijang’ yang sekian lama menemani aktifitas saya. Ternyata kehadiran saya, senantiasa ditunggu oleh Trinil istri tercinta, Naufal, Ghifar, Fayza dan si kecil Aura yang rela berdiam diri di rumah untuk sekedar mendaratkan ciuman hangat mereka. Satu persatu 2 jagoan kecil itu menubruk tubuh lelahku.
Saya terbaring di tempat tidur, dan serta merta anak-anak menyerbu kaki saya untuk melepaskan kaus kaki. Lalu tangan-tangan kecil itu memijat kaki saya, “ Capek Yah?”. Sesaat kemudian tangan mungil mereka beralih ke kening, “ Pusing Yah?”. Memang sih tidak seperti pijatan seorang tukang pijat, tapi sentuhan tangan-tangan malaikat mereka, jauh lebih menentramkan, membasuh peluh, menghalau penat dan mampu membuang lelah.
Giliran istri tercantik datang dengan teh hangatnya, satu kecupan penuh cinta mampir sejenak di keningku, sambil menggendong Aura. Sambutan yang tak pernah absen dilakukannya semenjak hari pertama pernikahan kami. Sambil menunggu air mendidih untuk teman mandi, terucap kalimat yang teramat sering saya dengar, “ Bagaimana hari ini Honey ? Ada Masalah? Berbagilah….” Sesaat kemudian hati, mata, dan kedua telinganya terbuka luas untuk menampung semua keluh sepanjang hari.
Makanan tersaji, anak-anak ikut mengitari hidangan lesehan khas keluarga kami (maklum, emang belum ada meja makan). Sesekali tangan mungil si Opal (panggilan kesayangan saya untuk Naufal) menyeruput teh hangat saya, sementara Boss Geng (julukan untuk Ghifar karena keberaniannya yang luar biasa) ikut merebut nasi saya, dan si Yza hanya terbengong melihat tingkah polah kakak-kakak tersayangnya. Aura hanya tersenyum tanpa makna. Sebenarnya mereka hanya ingin satu kalimat dari saya, “Ya, kita nanti ke alun-alun, naik kuda dan pulangnya beli mobil-mobilan di ‘serba 5000’ setelah Ayah tutup praktek”. Maka bubarlah mereka dan kembali sibuk dengan Lap Top nya (baru aja saya beliin mainan seperti lap top yang edukatif banget).
Adalah suatu kenikmatan tersendiri mendengar suara-suara lucu mereka berteriak mengamini bacaan Al Fatihah saat sholat berjamaah. Biasanya mereka mengikuti bacaan Fatihah maupun surat pendek yang saya baca, lumayan membuat saya terhibur dan tenang berharap mereka lebih menyukai lantunan itu daripada SamSonS yang setiap saat mengalun dari bilik tape tetangga.
Beruntung, langit cerah sekali malam itu sehingga kami berempat bisa bersiap-siap pake Supra X yang masih ngendon di garasi. Ucapan “Assalamu’alaikum” dari 2 jagoan neon dibalas “Wa’alaikum salam” istri tercinta mengiringi keberangkatan kami ke pusat kota Sidoarjo itu. Setelah usai ‘melaksanakan’ permintaan mereka, kitapun beranjak pulang, sementara sang rembulan malu-malu mengikuti langkah kami menuju rumah.
Malam telah larut, saatnya menemani 2 pangeran kecil dan seorang permaisuri itu beristirahat, sementara istri terkasih disibukkan dengan ASI untuk bidadari mungil kami. Biasanya, takkan terpejam mata mereka sebelum dua atau tiga dongeng (yang seringkali saya karang sendiri) saya hantarkan sebagai pengiring tidur keduanya. Akhirnya merekapun pulas dengan wajah penuh senyum.
Selanjutnya, adalah waktu bagi sepasang suami istri untuk berbagi kasih, sayang, cinta, duka, dan gembira. Bercerita apapun sepanjang malam, hingga terangkat semua beban hari ini, hingga terobati semua luka, hingga tersingkirkan kerikil penghambat, hingga kita tahu apa yang menjadi kekurangan kita, hingga kitapun tertidur menapaki malam.
Di penghujung malam, saya sempatkan bangun sejenak untuk wadul pada Illahi Robbi dan berharap Dia menjaga keempat buah hati yang sehari-harinya intensitas pertemuannya dengan saya amat sedikit.
Pagi belum beranjak, ayam jantanpun belum lama berkokok. Kecupan hangat dan seuntai doa mengiringi langkah keluar rumah, setelah sekitar sejam ‘buka warung’ (istilah di kalangan dokter untuk praktek) pagi. Sejuta harap dari dua pangeran kecil serta 2 bidadari mungil agar kembali dengan selamat berjinjing oleh-oleh makanan kecil atau buah kesukaan mereka.
Hidup pun terus berputar. Detik, menit, jam, pagi, siang, sore, malam, terus berputar. Tapi nikmatnya hidup dalam sebuah surga kecil mengalahkan penatnya kehidupan. Baiti Jannati, inilah Surga Kecil bernama keluarga. Di dunia ini, adakah yang lebih indah darinya ?

ISTRIKU CANTIK SEKALI HARI INI


ISTRIKU CANTIK SEKALI HARI INI

Pukul 4.15 menjelang Subuh, alarm di HP membangunkanku. Ia ikut terbangun. Padahal, aku tahu baru pukul 23.30 malam ia bisa tidur setelah berjibaku dengan tugas keibuannya. Kerja rumah tangga, urusan 4 anak-anak kami, masih ditambahin lagi dengan mengurus aku, suaminya.
Aku mandi dan sholat Subuh, setelah kusempatkan baca Al Qur’an 2 – 3 lembar. Selepas itu aku sudah harus stand by di meja praktek yang sebelumnya sudah dibukakan istri tercinta. Setelah ‘buka warung’ sekitar 1 jam, pukul 07.30 aku siap berangkat ke Rumah Sakit. Ah, ada yang tertinggal rupanya. Aku lupa memandangi wajahnya pagi ini, sembari duduk di meja makan, “ Nil, kamu cantik sekali hari ini” kataku memuji dengan tulus.
Ia tersenyum, “ Honey, sudah berapa lama kita menikah?”. Aku tergagap sebentar, melongo. Lho,koq nanya itu, hatiku membatin. Aku berhenti sebentar dan menghitung sudah berapa lama kami bersama, karena perasaanku, baru kemarin aku datang ke rumahnya bersama ayah dan ibu untuk meminangnya.
“ Lho, kan baru kemarin aku datang untuk meminta kamu jadi istriku dan aku nyatakan ‘ aku terima nikahnya dengan mas kawin sebagaimana tersebut tunai” jawabku cuek sembari mengaduk teh hangat rasa cinta dan perhatian darinya. Ia tertawa. Wuih, manis sekali. Mungkin bila teh ini nggak butuh gula, cukuplah aku memandangi wajahnya. “Kita sudah duabelas tahun Honey ” katanya memberikan tas kerjaku. “Aku berangkat ya, Assalmu’alaikum “ kataku bergeming dari kalimat terakhir yang ia ajukan. Aku tergesa. “Wa’alaikum salam, hati-hati di jalan”. Sebenarnya, aku ingin ngobrol terus, tapi setumpuk berkas sudah menantiku di Rumah Sakit.
Aku di jalan bersama sejumlah perasaan. Ada sesuatu yang hilang. Mungkin benar kata grup musik DEWA, separuh nafasku hilang saat dia tidak bersamaku. Kembali wajahnya menguntit pikiranku. Hmm, cantiknya istriku. Sayang waktu tak berpihak kepadaku untuk lebih lama menikmatinya.
Sekilas ketika tatapanku melongok keluar dari jendela kijang bututku, kupandangi tumbuhan, bangunan dan manusia yang berantakan dan tidak beraturan, menyelinap rimbunnya dedaunan kehidupan duabelas tahun silam. Ketika Majelis Taklim menyentuh dan menanamkan ke hati untuk menyempurnakan dien. Bahwa Allah akan memberikan pertolongan. Bahwa rejeki akan datang walau tak selembarpun kerja kugeluti saat itu selain menjadi ‘dokter jaga’ dari satu klinik ke klinik lain. Bahwa tak masalah menerapkan prinsip 3 K (Kuliah, Kerja, Kawin).
Sungguh, kala itu kupikir hanya wanita bodoh saja yang mau aku nikahi. Kuliah belum selesai, kerja nggak punya, apalagi perusahaan. Tanpa deposito dan orangtua yang mapan. Subhanalloh, nekad sekali wanita satu ini. Mau saja diajak berkelana tanpa bekal yang cukup di tangan. Ibarat mengarungi lautan, kami hanya punya sampan, sejumput tekad untuk menyempurnakan dien dan setangkup keyakinan bahwa Allah akan bersama kami. Di mata manusia memang sesuatu yang kalkulatif dan tidak menjadi jaminan, tapi tidak di mata Allah. Sesuatu yang terpikir oleh rasio dan sel-sel otak kita, tidak selamanya menjadi kenyataan, termasuk ketakutan dan kecemasan. Sungguh, it doesn’t make a sense bila berpikir bagaimana sampan bisa dikayuh.
Ternyata memang bisa. Kutarik segepok udara untuk mengisi paru-paru. Kurasakan syukur yang mendalam. Walau tanpa kerja dan orangtua mapan, sampanku terus berlabuh. Bahkan kini aku bisa sedikit menabung untuk persiapan anak-anakku kelak.
Ternyata memang benar, Allah akan menjamin rejeki seseorang yang sudah menikah. Allah akan memberikan rejeki dari arah yang tidak terduga, wayar zuk hum min haitsu laa yah tasibu kata At Thalaq ayat 3. Walaupun tetap semua janji itu muncul dengan sunnatulloh, kerja keras. Dan kerja keras terasa nikmat dengan doa dan dampingan seorang wanita yang rela dan ikhlas menjadi istriku, serta 2 jagoan dan 2 bidadari yang mengisi hari-hariku.
Semakin hari berganti, semakin hari pula aku merasakan betapa berharganya istriku. Di pelupuk mata dan hatiku, dia tidak hanya cantik tapi lebih dari itu. Dia mampu menjadi bahan bakar bagiku untuk bisa selalu di jalan Nya. Aku selalu rapuh menerjemahkan rasa cintaku. Aku hanya mampu berkata “ I love you more than you know”. Tapi ketika energi perhatian harus diberikan, saat itu pula ia lenyap, tenggelam oleh kelelahan dan kantuk.
Aku berpikir, kerja keras merupakan aplikasi efektif sebuah cinta. Aku tak pernah berpikir itu akan menguras dan menyedot energi perhatian dan cinta.. Aku kadang lupa kalau dia membutuhkan lebih dari sekedar kerja keras. Aku sering lupa mencium kening dan mengusap kepalanya ketika berangkat kerja. Aku sering tidak bersungguh-sungguh menatapnya saat ia bicara. Aku tidak mengerti mengapa tumpukan text book lebih menarik syaraf mataku ketimbang indah retinanya. Aku juga tidak mengerti kenapa aku lebih betah berjam-jam ngobrol dengan orang lain daripada mendengarkan celotehannya.
Aku tahu dia kecewa. Untunglah dia bijak. Kekecewaan itu tak pernah membesar. Bahkan seulas senyum selalu menyelinap dibalik penat dan kelelahannya. Aku akan selalu ingat kata-katanya bahwa perhatian kecil yang diberikan pada saat yang tepat akan menumbuhkan cinta yang besar. Nil, kamu cantik sekali hari ini dan akan selalu cantik dimataku. Tak terasa tangan ini bergerak menulis sebait puisi untuknya.

Istriku bukan Khadijah,
yang selalu ada saat Rosul membutuhkan.
Tapi dia hanyalah istri akhir masa
dengan segudang langkah,
yang selalu ingin di samping suami.
Istriku bukan Aisyah,
yang selalu hadir dengan sejuta senyum
dibibir manisnya.
Tapi dia hanyalah istri akhir jaman
dengan sebersit kecemberutan,
yang selalu ingin ceria di depan suami.
Istriku bukan Hafsah,
yang selalu tegas dalam bersikap.
Tapi dia hanyalah istri akhir masa
dengan setumpuk keraguan,
yang selalu ingin tanpa kebimbangan
di hadapan suami.
Istriku bukan Zainab,
yang sodaqohnya melebihi hartanya.
Tapi dia hanyalah istri akhir jaman
dengan secuil rasa pelit,
yang selalu ingin dermawan
dalam menjalani hidupnya.
Istriku bukan Ummu Salamah,
yang memberi ketenangan saat Rosul gelisah.
Tapi dia hanyalah istri akhir masa
dengan selaksa kegalauan,
yang selalu ingin menjadi
telaga kesejukan untuk suami.
Istriku bukan Rahmah,
yang selalu gusar
dengan berbagai kesyirikan.
Tapi dia hanyalah istri akhir jaman
dengan beribu godaan,
yang selalu ingin
memegang teguh ketauhidannya

Kamis, 23 Oktober 2008

KEMANA LANGKAH DOKTER

KEMANA LANGKAH DOKTER, BIDAN, DAN PERAWAT LULUSAN PTM ?
Seorang Pimpinan Balai Pengobatan (BP) Muhammadiyah di Jawa Timur menghubungi Penulis untuk menanyakan apakah ada stok Dokter untuk mengisi kekosongan tenaga medis di BP nya. Sementara di saat yang hampir bersamaan, seorang kolega Dokter yang baru saja lulus dari Perguruan Tinggi Muhammadiyah meminta Penulis untuk dicarikan pekerjaan. Eureka…benar-benar sesuatu yang kontradiktif !! Ironis !!
Melihat fenomena diatas, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Dalam konteks ini, bisa diambil benang merah penyebab kejadian itu. Apa itu? Adanya kesenjangan informasi antara kebutuhan dan lowongan. Kenapa hal itu terjadi? Karena tidak adanya database kebutuhan tenaga medis dan paramedis yang dimiliki masing-masing Amal Usaha Muhammadiyah di bidang Kesehatan (AUM Kes) dan di sisi lain, tidak adanya database lulusan FK (Fakultas Kedokteran), AKBID, AKPER, STIKES Perguruan Tinggi Muhammadiyah atau Pendidikan Tenaga Kesehatan PTM (selanjutnya disebut Diknakes PTM) yang ‘butuh’ pekerjaan. Kenapa hal itu terjadi? Karena tidak adanya sinkronisasi database yang dimiliki antara Majelis Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat (MKKM) dan Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (DIKTI-LITBANG). Kenapa hal itu terjadi? Karena tidak adanya keserasian program kedua Majelis tersebut. Kenapa hal itu terjadi? Karena tidak adanya silaturahim institusi kedua Majelis tersebut. Kenapa…kenapa…kenapa?
Coba kita urai mbundelnya simpul kejadian diatas. Sampai saat ini, belum ada satupun Rumah Sakit Muhammadiyah/Aisyiyah di lingkungan Persyarikatan Muhamadiyah yang menjadi Rumah Sakit Pendidikan bagi Fakultas Kedokteran dan institusi pendidikan kesehatan lainnya di lingkungan PTM. Sampai saat ini pula, belum ada satupun PTM yang memiliki Rumah Sakit sendiri sebagai lahan praktek maupun lahan kerja lulusannya. Padahal di Indonesia, ada sekitar 100 an RSM, 200 an BP/RB/BKIA, serta 164 PTM. Coba kita bayangkan…betapa indahnya bila RSM yang ada, diisi oleh kader-kader Muhammadiyah sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Betapa indahnya pula jika tenaga medis-paramedis lulusan Diknakes PTM tidak ‘menjajakan diri’ kesana kemari demi mendapatkan sebuah pekerjaan, tapi bisa langsung berkiprah di AUM Kes. Untuk itu diperlukan hubungan yang harmonis (bukan berarti selama ini tidak harmonis) antara kedua Majelis tersebut dalam bentuk Kerjasama. Seperti apa kerjasamanya?
• Menjadikan AUM Kes (RSM) sebagai bagian dari Program Pendidikan (kurikulum) Diknakes PTM dengan menjadikannya sebagai Rumah Sakit Pendidikan.
• Sebelum lulus, mahasiswa diwajibkan magang selama beberapa waktu di AUM Kes.
• Lulusan Diknekes PTM diwajibkan menempuh Program Wajib Kerja semacam PTT (Pegawai Tidak Tetap) di AUM Kes selama kurun waktu tertentu.
• AUM Kes menerima mahasiswa magang Diknakes PTM
• AUM Kes memprioritaskan penerimaan lulusan Diknakes PTM
Dengan kerjasama itu tentu ada konsekuensi bagi AUM Kes maupun Diknakes PTM. Dari sisi AUM Kes, MKKM punya kewajiban untuk menunjuk dan membina AUM Kes (RSM) serta mendorong untuk menjadi RS Pendidikan. Disamping itu MKKM juga harus mendorong AUM Kes untuk ikut aktif membantu pengembangan dan kemajuan pendidikan Dokter, Bidan, dan Perawat di Diknakes PTM. Di sisi yang lain Majelis Dikti-litbang berkewajiban membina FK dan institusi pendidikan kesehatan lainnya di lingkungan Diknakes PTM agar dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas, profesional, Islami, dan punya komitmen yang tinggi terhadap persyarikatan. Di samping juga mendorong untuk membantu AUM Kes dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Setelah kerjasama itu terjalin tentu ada tindak lanjutnya. Dalam bentuk apa? Masing-masing majelis mendapatkan laporan perkembangan dan kemajuan dari masing-masing pihak terkait dengan keberadaan mahasiswa magang maupun lulusan Diknakes PTM yang sudah di AUM Kes, tentu untuk dijadikan bahan evaluasi. Jika hasilnya kurang baik, bukan berarti kerjasama ini dihentikan tapi kedua pihak harus mencari solusi dari ketidak optimalan kerjasama tersebut.
Dengan adanya kerjasama kedua majelis tersebut, diharapakan tidak ada lagi AUM Kes yang kesulitan mencari tenaga medis-paramedis, dan tidak ada lagi Dokter, Bidan, maupun Perawat lulusan Diknakes PTM yang mondar-mandir kesana kemari mencari pekerjaan. So, judul diatas sudah mendapatkan jawaban yang kita semua sudah tahu. Ayo, bersyarikat kita bisa !!

BERSATU KITA UNTUNG, SENDIRIAN KITA BUNTUNG

“ BERJAMAAH KITA UNTUNG, SENDIRIAN KITA BUNTUNG “

Suatu ketika Ketua MKKM PWM Jawa Timur disambati, “ Saya iri dengan RS Muhammadiyah lain yang sudah besar. Mereka bisa mendapatkan diskon obat yang besar dari perusahaan farmasi karena omset mereka yang tinggi. Sementara saya…diskon sak welase aja”
kata salah seorang Direktur RS Muhammadiyah yang tergolong kecil. Kenapa? Jawabannya jelas, karena omset rumah sakit tersebut kecil. Bagi dunia perdagangan, omset berbanding lurus dengan diskon. Kacian deh lu para Direktur rumah sakit kecil.
Untuk rumah sakit dibawah naungan organisasi sebesar Muhammadiyah, kejadian diatas tidak perlu terjadi. Tapi kenyataan di lapangan menunjukkan ambivalensi tersebut, padahal di Jawa Timur kita punya 28 rumah sakit dan 68 balai pengobatan. Artinya, dari 37 kota dan kabupaten yang ada di Jawa Timur, hampir bisa dipastikan ada amal usaha Kesehatan Muhammadiyah (AUM Kes). Apabila kita berbicara tentang kekuatan dakwah ekonomi di bidang kesehatan, sesungguhnya Muhammadiyah Jatim menang jauh dari bisnis makanan cepat saji Mc Donalds sekalipun. Lalu…kenapa masih kalah jauh? Karena kita (rumah sakit) masih belum berjamaah. Kita masih ribut dengan diri sendiri, ribut nego sendiri, ribut ngorder sendiri, ribut ngomset sendiri. Wis, pokoke ribut karepe dewe.
Pernahkah terlintas di benak kita, berapa omset obat-obatan perbulan 28 rumah sakit dan 68 balai pengobatan itu? Sungguh fantastis….sekitar 10 milyar.
Sebagai organisasi yang bergerak dibidang multi usaha pelayanan atau padat usaha , rumah sakit membutuhkan banyak modal, banyak tenaga /profesi, padat sarana dan teknologi, sebagai sumber daya. Sehingga kemungkinan juga terkandung padat masalah yang berhubungan dengan keterbatasan sumber daya tersebut, sementara di sisi lain Rumah Sakit Muhammadiyah dituntut tetap berperan sebagai sarana dakwah persyarikatan.
Ada hal yang kontradiktif di Rumah Sakit Muhammadiyah, sebenarnya kita punya kekuatan besar untuk bernegosiasi dengan pihak manapun, tapi seringkali kita kalah telak. Kita ahli dalam sholat berjamaah tetapi belum ahli berjamaah dalam bidang amal sholeh seperti pengelolaan rumah sakit. Kita masih kalah jauh dibandingkan dengan rumah sakit yang dikelola oleh ghoiru Islam.
Memperhatikan Keputusan Presiden nomor 38 /1991, pemerintah menetapkan kebijakan rumah sakit swadana. Kebijakan ini yang mendorong adanya korporasi rumah sakit pemerintah. Apabila secara umum ada gejala korporasi di Rumah Sakit pemerintah, di rumah sakit Muhammadiyah Jawa Timur korporasi masih terbatas pada nama rumah sakit. Masih belum masuk lebih jauh pada pelayanan, apalagi pengadaan barang dan alat kesehatan serta alat-alat elektromedis. Untuk pengadaan tersebut masih nafsi-nafsi dan belum terkelola dalam satu koorporasi yang kuat : Rumah Sakit Muhammadiyah Jawa Timur.
Jumlah Rumah Sakit Muhammadiyah di Jawa Timur cukup banyak tetapi tidak mempunyai bargaining yang bagus apabila berhadapan dengan pabrikan. Akibatnya Rumah sakit Muhammadiyah tidak mampu memanfaatkan kelebihan tersebut untuk dirubah menjadi nilai ekonomi. Bertahun tahun rumah sakit Muhammadiyah dalam pengadaan barang obat dan peralatan medis mendapat harga umum, padahal ada peluang besar untuk mendapat harga khusus atau diskon. Oleh karena harga khusus tersebut sudah dikeluarkan sebagai biaya oleh perusahaan akhirnya dinikmati oleh oknum tertentu tetapi tidak dimiliki oleh rumah sakit.
Ironis memang, tetapi itulah kenyataan yang terjadi di Rumah Sakit Muhammadiyah. Keadaan itu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut sehingga melahirkan kelas sosial baru dalam perumah-sakitan Muhammadiyah. Kelas dimana perumah-sakitan Muhammadiyah keluar dari koridor rumah sakit dakwah. Ada rumah sakit gemuk, kurus atau rumah sakit yang ingin berkembang sediri tanpa meperdulikan kerjasama dengan rumah sakit Muhammadiyah yang lain. Maka semangat Al Qur’an surat Ali Imran ayat 104 perlu dibangkitkan dan ditumbuh suburkan dalam kendaraan dakwah Rumah Sakit Muhammadiyah, khususnya di Jawa Timur.
Sesuatu yang berat akan dirasa ringan manakala dapat diselesaikan dengan cara jamaah atau berkorporasi seluruh amal usaha bidang kesehatan Muhammadiyah Jawa Timur. Pengadaan obat mahal, pengadaan alat kesehatan mahal, pengadaan alat-alat elektromedis mahal dan sulit itu karena masing-masing rumah sakit mengadakan pengadaan sendiri-sendiri.
Hendaknya falsafah sholat jama’ah menginspirasi kita untuk membagun jamaah pengelolaan rumah sakit Muhammadiyah di jawa Timur dalam wujud riil. Dengan memperhatikan nilai diberikan Rasulullah bahwa imam sebelum mengangkat takbir di sunahkan menata jamaah, meluruskan barisan, merapatkan barisan antar jamaah, memperhatikan jamaah, dan menegaskan bahwa rapat (jangan ada celah) dan lurus itu adalah keutamaan berjamaah. Dan karena berada dalam satu jejaring itu ada pemimpin atau imam yang memperhatikan kebutuhan jamaahnya, meluruskan dan merapatkan komitmen internal jejaring dan atau visi dan misi rumah sakit sebagai alat dakwah Muhammadiyah. Celah-celah diartikan sebagai kelemahan jamaah dapat ditutup oleh imam dengan merapatkan barisan dalam jamaah runah sakit persyarikatan Muhammadiyah.
Sebab hanya dengan berjamaah atau berkorporasi antar Rumah Sakit Muhammadiyah se Jawa Timur mampu meningkatkan perolehan diskon, meningkatnya derajat rumah sakit dimata principle, terciptanya sinergi building antara rumah sakit yang mapan dengan rumah sakit menuju mapan, yang besar membatu yang kecil. Semua itu tidak akan terwujud tanpa adanya wadah yang profesional, akuntabel dan maka dipilihlah badan hukum koperasi sebagai wadahnya.
Koperasi lebih mementingkan manfaat anggotanya, keputusan tertinggi bukan berada pada tangan pengurus, tetapi pada rapat anggota. Pemilik koperasi bukan pada komisaris tetapi pada tangan anggota. Falsafah koperasi dari anggota untuk anggota. Tujuan utama koperasi adalah kesejahteraan anggota. Maka tidak bisa tidak, pembentukan Koperasi Surya Medika Timur harus dioptimalkan. Domba yang dimakan srigala adalah domba yang keluar dari jamaahnya.
” Setelah ikut Koperasi SMT, diskon yang kami terima jauh lebih besar ” kata salah seorang Direktur RS muhammadiyah di Kota Reog. Selain itu dengan berjamaah, keuntungan tidak semata-mata diskon tetapi persaudaraan antar rumah sakit jadi lebih akrab. Dengan akrab tersebut kita dapat sharing segala usuran perumah-sakitan.
Dan atas ijin Allah SWT, Koperasi SMT Jatim membatu kekurangan dokter spesialis RS Muhammadiyah Jawa Timur dengan program Pendidikan Dokter Spesialis. Sebagaimana visi dan misinya, kedepan mudah mudahan mampu membuat merk obat, cairan dan Alkes (alat kesehatan) dengan logo Muhammadiyah. Dengan performence bagus dan dukungan persyarikatan, akan dikembangkan bidang lainya seperti delivery obat dan alkes dan dimungkinkan membuat pabrik obat Muhammadiyah.
Tapi apa yang terjadi selama ini? Ada beberapa kendala yang menyebabkan kondisi ideal tersebut belum tercapai, yaitu masih adanya (atau malah bisa disebut banyak) rumah sakit yang belum bergabung, padahal SMT adalah amanat dari Rakerwil MKKM PWM Jawa Timur. Artinya masih ada rumah sakit yang belum memiliki komitmen itu. Belum lagi, ada yang sudah bergabung tapi masih belum memanfaatkan keberjamaahan dengan tetap bertahan melakukan negosiasi sendiri, padahal diskon yang didapat lebih kecil. Ada apa ini? Komitmen dari rumah sakit untuk selalu berjamaah dalam berbagai aspek, tampaknya menjadi harga mati. Berjamaah kita untung, sendirian kita buntung.

RENUNGAN PEMASARAN RUMAH SAKIT

RENUNGAN PEMASARAN RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH

Amal usaha Muhammadiyah bidang kesehatan (AUM Kes) di Jawa Timur saat ini berkembang dengan pesat, khususnya rumah sakit. Hingga sekarang tercatat 27 Rumah Sakit Muhammadiyah (RSM) beroperasi. Menyusul beberapa rumah bersalin dan balai pengobatan yg akan berkonversi menjadi RSM. Perkembangan ini sudah barang tentu sangat menggembirakan. Paling tidak, dengan banyaknya rumah sakit, kiprah Muhammadiyah dalam pembangunan daerah, khususnya bidang kesehatan, semakin terlihat. Belum lagi, bila dilihat dari besarnya dukungan yang diberikan rumah sakit kepada Persyarikatan, berupa dukungan dana atau yang lain, terlebih dukungan untuk pengembangan dakwah.
Tidak berlebihan bila ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsudin, dalam berbagai kesempatan sering mengatakan bahwa perkembangan AUM Kes di Jawa Timur memiliki progresifitas tertinggi dibandingkan daerah lain di Indonesia.
Seiring dengan kemajuan yang dicapai, ada pertanyaan menarik yang perlu kita renungkan jawabannya. “Apakah usaha kita memajukan RSM sejalan dan menuju cita-cita perjuangan persyarikatan, ataukah justru melenceng dari koridor visi perjuangan?”. Pertanyaan ini sangat penting dimunculkan, sebab menjadi tidak ada artinya apabila kemajuan yang diraih ternyata tidak bermuara pada maksud dan tujuan Muhammadiyah mendirikan rumah sakit. Sekedar mengingatkan, visi AUM Kes memiliki 2 unsur penting, Profesionalitas dan Islami sehingga untuk mewujudkan visi itu maka misi AUM Kes juga mempunyai 2 upaya pokok yaitu mampu memberikan layanan kesehatan yang profesional dan menjadikannya sebagai sarana dakwah Islamiyah sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Namun dalam perkembangannya, RSM dihadapkan pada perubahan lingkungan usaha. Lingkungan yang tadinya ramah bagi berkembangnya rumah sakit kini menjadi tidak bersahabat. Tidak selalu RSM dengan mudah berkembang, kadang-kadang mengalami kemunduran bahkan kerugian. Ini semua terjadi karena persaingan yang ketat dalam “bisnis” rumah sakit. Munculnya fenomena ini memaksa RSM mengoperasikan amal usaha dengan kaidah bisnis modern dalam bingkai profesionalisme. Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah, bagaimana memadukan kaidah bisnis modern yang profit oriented dengan visi Muhammadiyah yang social oriented?. Walaupun dua hal tersebut laksana dua sisi mata uang yang sulit dirujukkan, akan tetapi mengingat esensi keberadaan RSM di tengah perkembangan zaman, maka kedua hal itu harus dicapai titik temunya. Tidak mungkin RSM memilih salah satu. Menjadi rumah sakit yang mengejar keuntungan semata atau sebaliknya yang penting sosial walaupun merugi.
Disaat bersamaan, dunia pemasaran saat ini mengalami perkembangan pesat. Ilmu pemasaran sekarang tidak hanya dipahami sebagai seni menjual barang, lebih dari itu telah berkembang menjadi proses menciptakan nilai (value) untuk dipertukarkan dengan pihak lain dalam posisi yang saling menguntungkan. Dalam konteks ini RSM bisa diposisikan sebagai pihak yang menciptakan nilai, berupa pelayanan kesehatan dengan segala asesorinya. Sedang pihak lainnya adalah stake holder yaitu; persyarikatan, pasien dan keluarganya, masyarakat, dan karyawan. Intinya, bagaimana RSM dapat beroperasi dengan sehat dan memberi manfaat bagi stake holder. Barangkali, inilah benang merah antara profit oriented dengan social oriented.
Derajat hubungan dari pihak yang berinteraksi (bertukar nilai) dapat dibagi menjadi 4 golongan. Pertama, Political Marketing. Golongan ini mencerminkan interaksi yang tidak seimbang, yang penting ada transaksi. Ini derajat yang paling rendah. RSM masuk dalam kategori ini apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan pengorbanan yang dikeluarkan stake holder. Persyarikatan tidak memperoleh manfaat apapun dari RSM. Keberadaannya juga tidak memberi arti bagi jaringan RSM lain, bahkan mungkin membebani. Pasien komplain terhadap pelayanan yang diterima. Masyarakat mengeluhkan keberadaan RSM karena tidak mendapat tetesan berkah. Dan, karyawan banyak mengeluh karena merasa diekploitasi.
Kedua, derajat yang lebih tinggi, yaitu; Intelectual Marketing. Derajat ini meletakkan proses pertukaran dalam kerangka bisnis sederhana. Apa yang didapat stake holder sesuai dengan pengorbanan yang dikeluarkan. Persyarikatan mendapat bagian sisa hasil usaha sesuai dengan qoidah, tidak lebih tidak kurang. Jaringan RSM lain yang bekerjasama diperlakukan layaknya transaksi bisnis ansich. Pasien pulang dengan perasaan yang biasa saja karena telah membayar sesuai dengan biaya yang timbul. Masyarakat menerima kehadiran RSM tetapi tidak memberi respon positif karena merasa bukan urusannya, biasa-biasa saja. Karyawan bekerja sesuai dengan prosedur tetap kepegawaian, yang penting bekerja, selesai....pulang . Tidak ada ikatan emosi.
Ketiga, Emosional Marketing. Pada derajat ini interaksi yang terjadi tidak hanya pertukaran nilai saja tetapi juga melibatkan emosi yang positif dari masing-masing pihak. Persyarikatan sebagai pemilik tidak saja mendapat “keuntungan material” tetapi juga mendapat pencitraan yang baik melalui RSM. Kerjasama antar RSM terjalin begitu erat. Pertukaran yang terjadi tidak hanya sebatas transaksi “bisnis” tetapi terjadi pertukaran nilai yg saling menguatkan. Ada kebanggaan dalam bekerjasama. Keberadaan RSM memberi rasa aman bagi masyarakat di sekitarnya. Pasien yang dirawat tidak hanya puas dengan pelayanan RSM tetapi juga bersedia mereferensikan kepada orang lain walaupun tidak dibayar. Dan karyawan bekerja dengan penuh semangat walaupun beban kerja yang dipikul terkadang melebihi tugas yang seharusnya.
Keempat, Spiritual Marketing. Dinamai demikian karena interaksi yang terjadi sudah melibatkan “ruh” organisasi. Ini derajat interaksi yang paling tinggi. Jiwa dari masing-masing pihak yang berinteraksi menyatu dan memancarkan “sang surya” yang memberi kedamaian bagi umat. Persyarikatan mengaktualisasikan visinya melalui RSM. Semangat saling membantu dan membesarkan antar RSM menjadi dasar dalam berinteraksi. Pasien datang ke RSM bukan hanya karena membutuhkan bantuan medis tetapi karena merasa ikut memiliki sehingga datang ke rumah sakit seperti masuk ke rumah sendiri. Masyarakat tidak hanya merasa aman tetapi juga menjadi advocator, menjadi pihak terdepan dalam “membela” kepentingan RSM. Karyawan mengintegrasikan hidupnya di RSM, karena menganggap RSM adalah bagian dari hidupnya.
Dari keempat tingkat interaksi di atas, yang paling tepat menjawab pertanyaan di awal tulisan ini tentu saja spiritual marketing. Pada tingkatan ini RSM tidak saja mampu menghidupi diri tetapi juga mampu memberikan social value kepada stake holder. Nah...bagaimana dengan RSM yang saat ini sedang kita kelola, termasuk tingkatan manakah RSM kita? Mari kita renungkan bersama.