Kamis, 23 Oktober 2008

RENUNGAN PEMASARAN RUMAH SAKIT

RENUNGAN PEMASARAN RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH

Amal usaha Muhammadiyah bidang kesehatan (AUM Kes) di Jawa Timur saat ini berkembang dengan pesat, khususnya rumah sakit. Hingga sekarang tercatat 27 Rumah Sakit Muhammadiyah (RSM) beroperasi. Menyusul beberapa rumah bersalin dan balai pengobatan yg akan berkonversi menjadi RSM. Perkembangan ini sudah barang tentu sangat menggembirakan. Paling tidak, dengan banyaknya rumah sakit, kiprah Muhammadiyah dalam pembangunan daerah, khususnya bidang kesehatan, semakin terlihat. Belum lagi, bila dilihat dari besarnya dukungan yang diberikan rumah sakit kepada Persyarikatan, berupa dukungan dana atau yang lain, terlebih dukungan untuk pengembangan dakwah.
Tidak berlebihan bila ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsudin, dalam berbagai kesempatan sering mengatakan bahwa perkembangan AUM Kes di Jawa Timur memiliki progresifitas tertinggi dibandingkan daerah lain di Indonesia.
Seiring dengan kemajuan yang dicapai, ada pertanyaan menarik yang perlu kita renungkan jawabannya. “Apakah usaha kita memajukan RSM sejalan dan menuju cita-cita perjuangan persyarikatan, ataukah justru melenceng dari koridor visi perjuangan?”. Pertanyaan ini sangat penting dimunculkan, sebab menjadi tidak ada artinya apabila kemajuan yang diraih ternyata tidak bermuara pada maksud dan tujuan Muhammadiyah mendirikan rumah sakit. Sekedar mengingatkan, visi AUM Kes memiliki 2 unsur penting, Profesionalitas dan Islami sehingga untuk mewujudkan visi itu maka misi AUM Kes juga mempunyai 2 upaya pokok yaitu mampu memberikan layanan kesehatan yang profesional dan menjadikannya sebagai sarana dakwah Islamiyah sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Namun dalam perkembangannya, RSM dihadapkan pada perubahan lingkungan usaha. Lingkungan yang tadinya ramah bagi berkembangnya rumah sakit kini menjadi tidak bersahabat. Tidak selalu RSM dengan mudah berkembang, kadang-kadang mengalami kemunduran bahkan kerugian. Ini semua terjadi karena persaingan yang ketat dalam “bisnis” rumah sakit. Munculnya fenomena ini memaksa RSM mengoperasikan amal usaha dengan kaidah bisnis modern dalam bingkai profesionalisme. Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah, bagaimana memadukan kaidah bisnis modern yang profit oriented dengan visi Muhammadiyah yang social oriented?. Walaupun dua hal tersebut laksana dua sisi mata uang yang sulit dirujukkan, akan tetapi mengingat esensi keberadaan RSM di tengah perkembangan zaman, maka kedua hal itu harus dicapai titik temunya. Tidak mungkin RSM memilih salah satu. Menjadi rumah sakit yang mengejar keuntungan semata atau sebaliknya yang penting sosial walaupun merugi.
Disaat bersamaan, dunia pemasaran saat ini mengalami perkembangan pesat. Ilmu pemasaran sekarang tidak hanya dipahami sebagai seni menjual barang, lebih dari itu telah berkembang menjadi proses menciptakan nilai (value) untuk dipertukarkan dengan pihak lain dalam posisi yang saling menguntungkan. Dalam konteks ini RSM bisa diposisikan sebagai pihak yang menciptakan nilai, berupa pelayanan kesehatan dengan segala asesorinya. Sedang pihak lainnya adalah stake holder yaitu; persyarikatan, pasien dan keluarganya, masyarakat, dan karyawan. Intinya, bagaimana RSM dapat beroperasi dengan sehat dan memberi manfaat bagi stake holder. Barangkali, inilah benang merah antara profit oriented dengan social oriented.
Derajat hubungan dari pihak yang berinteraksi (bertukar nilai) dapat dibagi menjadi 4 golongan. Pertama, Political Marketing. Golongan ini mencerminkan interaksi yang tidak seimbang, yang penting ada transaksi. Ini derajat yang paling rendah. RSM masuk dalam kategori ini apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan pengorbanan yang dikeluarkan stake holder. Persyarikatan tidak memperoleh manfaat apapun dari RSM. Keberadaannya juga tidak memberi arti bagi jaringan RSM lain, bahkan mungkin membebani. Pasien komplain terhadap pelayanan yang diterima. Masyarakat mengeluhkan keberadaan RSM karena tidak mendapat tetesan berkah. Dan, karyawan banyak mengeluh karena merasa diekploitasi.
Kedua, derajat yang lebih tinggi, yaitu; Intelectual Marketing. Derajat ini meletakkan proses pertukaran dalam kerangka bisnis sederhana. Apa yang didapat stake holder sesuai dengan pengorbanan yang dikeluarkan. Persyarikatan mendapat bagian sisa hasil usaha sesuai dengan qoidah, tidak lebih tidak kurang. Jaringan RSM lain yang bekerjasama diperlakukan layaknya transaksi bisnis ansich. Pasien pulang dengan perasaan yang biasa saja karena telah membayar sesuai dengan biaya yang timbul. Masyarakat menerima kehadiran RSM tetapi tidak memberi respon positif karena merasa bukan urusannya, biasa-biasa saja. Karyawan bekerja sesuai dengan prosedur tetap kepegawaian, yang penting bekerja, selesai....pulang . Tidak ada ikatan emosi.
Ketiga, Emosional Marketing. Pada derajat ini interaksi yang terjadi tidak hanya pertukaran nilai saja tetapi juga melibatkan emosi yang positif dari masing-masing pihak. Persyarikatan sebagai pemilik tidak saja mendapat “keuntungan material” tetapi juga mendapat pencitraan yang baik melalui RSM. Kerjasama antar RSM terjalin begitu erat. Pertukaran yang terjadi tidak hanya sebatas transaksi “bisnis” tetapi terjadi pertukaran nilai yg saling menguatkan. Ada kebanggaan dalam bekerjasama. Keberadaan RSM memberi rasa aman bagi masyarakat di sekitarnya. Pasien yang dirawat tidak hanya puas dengan pelayanan RSM tetapi juga bersedia mereferensikan kepada orang lain walaupun tidak dibayar. Dan karyawan bekerja dengan penuh semangat walaupun beban kerja yang dipikul terkadang melebihi tugas yang seharusnya.
Keempat, Spiritual Marketing. Dinamai demikian karena interaksi yang terjadi sudah melibatkan “ruh” organisasi. Ini derajat interaksi yang paling tinggi. Jiwa dari masing-masing pihak yang berinteraksi menyatu dan memancarkan “sang surya” yang memberi kedamaian bagi umat. Persyarikatan mengaktualisasikan visinya melalui RSM. Semangat saling membantu dan membesarkan antar RSM menjadi dasar dalam berinteraksi. Pasien datang ke RSM bukan hanya karena membutuhkan bantuan medis tetapi karena merasa ikut memiliki sehingga datang ke rumah sakit seperti masuk ke rumah sendiri. Masyarakat tidak hanya merasa aman tetapi juga menjadi advocator, menjadi pihak terdepan dalam “membela” kepentingan RSM. Karyawan mengintegrasikan hidupnya di RSM, karena menganggap RSM adalah bagian dari hidupnya.
Dari keempat tingkat interaksi di atas, yang paling tepat menjawab pertanyaan di awal tulisan ini tentu saja spiritual marketing. Pada tingkatan ini RSM tidak saja mampu menghidupi diri tetapi juga mampu memberikan social value kepada stake holder. Nah...bagaimana dengan RSM yang saat ini sedang kita kelola, termasuk tingkatan manakah RSM kita? Mari kita renungkan bersama.

Tidak ada komentar: