Minggu, 26 Oktober 2008

ISTRIKU CANTIK SEKALI HARI INI


ISTRIKU CANTIK SEKALI HARI INI

Pukul 4.15 menjelang Subuh, alarm di HP membangunkanku. Ia ikut terbangun. Padahal, aku tahu baru pukul 23.30 malam ia bisa tidur setelah berjibaku dengan tugas keibuannya. Kerja rumah tangga, urusan 4 anak-anak kami, masih ditambahin lagi dengan mengurus aku, suaminya.
Aku mandi dan sholat Subuh, setelah kusempatkan baca Al Qur’an 2 – 3 lembar. Selepas itu aku sudah harus stand by di meja praktek yang sebelumnya sudah dibukakan istri tercinta. Setelah ‘buka warung’ sekitar 1 jam, pukul 07.30 aku siap berangkat ke Rumah Sakit. Ah, ada yang tertinggal rupanya. Aku lupa memandangi wajahnya pagi ini, sembari duduk di meja makan, “ Nil, kamu cantik sekali hari ini” kataku memuji dengan tulus.
Ia tersenyum, “ Honey, sudah berapa lama kita menikah?”. Aku tergagap sebentar, melongo. Lho,koq nanya itu, hatiku membatin. Aku berhenti sebentar dan menghitung sudah berapa lama kami bersama, karena perasaanku, baru kemarin aku datang ke rumahnya bersama ayah dan ibu untuk meminangnya.
“ Lho, kan baru kemarin aku datang untuk meminta kamu jadi istriku dan aku nyatakan ‘ aku terima nikahnya dengan mas kawin sebagaimana tersebut tunai” jawabku cuek sembari mengaduk teh hangat rasa cinta dan perhatian darinya. Ia tertawa. Wuih, manis sekali. Mungkin bila teh ini nggak butuh gula, cukuplah aku memandangi wajahnya. “Kita sudah duabelas tahun Honey ” katanya memberikan tas kerjaku. “Aku berangkat ya, Assalmu’alaikum “ kataku bergeming dari kalimat terakhir yang ia ajukan. Aku tergesa. “Wa’alaikum salam, hati-hati di jalan”. Sebenarnya, aku ingin ngobrol terus, tapi setumpuk berkas sudah menantiku di Rumah Sakit.
Aku di jalan bersama sejumlah perasaan. Ada sesuatu yang hilang. Mungkin benar kata grup musik DEWA, separuh nafasku hilang saat dia tidak bersamaku. Kembali wajahnya menguntit pikiranku. Hmm, cantiknya istriku. Sayang waktu tak berpihak kepadaku untuk lebih lama menikmatinya.
Sekilas ketika tatapanku melongok keluar dari jendela kijang bututku, kupandangi tumbuhan, bangunan dan manusia yang berantakan dan tidak beraturan, menyelinap rimbunnya dedaunan kehidupan duabelas tahun silam. Ketika Majelis Taklim menyentuh dan menanamkan ke hati untuk menyempurnakan dien. Bahwa Allah akan memberikan pertolongan. Bahwa rejeki akan datang walau tak selembarpun kerja kugeluti saat itu selain menjadi ‘dokter jaga’ dari satu klinik ke klinik lain. Bahwa tak masalah menerapkan prinsip 3 K (Kuliah, Kerja, Kawin).
Sungguh, kala itu kupikir hanya wanita bodoh saja yang mau aku nikahi. Kuliah belum selesai, kerja nggak punya, apalagi perusahaan. Tanpa deposito dan orangtua yang mapan. Subhanalloh, nekad sekali wanita satu ini. Mau saja diajak berkelana tanpa bekal yang cukup di tangan. Ibarat mengarungi lautan, kami hanya punya sampan, sejumput tekad untuk menyempurnakan dien dan setangkup keyakinan bahwa Allah akan bersama kami. Di mata manusia memang sesuatu yang kalkulatif dan tidak menjadi jaminan, tapi tidak di mata Allah. Sesuatu yang terpikir oleh rasio dan sel-sel otak kita, tidak selamanya menjadi kenyataan, termasuk ketakutan dan kecemasan. Sungguh, it doesn’t make a sense bila berpikir bagaimana sampan bisa dikayuh.
Ternyata memang bisa. Kutarik segepok udara untuk mengisi paru-paru. Kurasakan syukur yang mendalam. Walau tanpa kerja dan orangtua mapan, sampanku terus berlabuh. Bahkan kini aku bisa sedikit menabung untuk persiapan anak-anakku kelak.
Ternyata memang benar, Allah akan menjamin rejeki seseorang yang sudah menikah. Allah akan memberikan rejeki dari arah yang tidak terduga, wayar zuk hum min haitsu laa yah tasibu kata At Thalaq ayat 3. Walaupun tetap semua janji itu muncul dengan sunnatulloh, kerja keras. Dan kerja keras terasa nikmat dengan doa dan dampingan seorang wanita yang rela dan ikhlas menjadi istriku, serta 2 jagoan dan 2 bidadari yang mengisi hari-hariku.
Semakin hari berganti, semakin hari pula aku merasakan betapa berharganya istriku. Di pelupuk mata dan hatiku, dia tidak hanya cantik tapi lebih dari itu. Dia mampu menjadi bahan bakar bagiku untuk bisa selalu di jalan Nya. Aku selalu rapuh menerjemahkan rasa cintaku. Aku hanya mampu berkata “ I love you more than you know”. Tapi ketika energi perhatian harus diberikan, saat itu pula ia lenyap, tenggelam oleh kelelahan dan kantuk.
Aku berpikir, kerja keras merupakan aplikasi efektif sebuah cinta. Aku tak pernah berpikir itu akan menguras dan menyedot energi perhatian dan cinta.. Aku kadang lupa kalau dia membutuhkan lebih dari sekedar kerja keras. Aku sering lupa mencium kening dan mengusap kepalanya ketika berangkat kerja. Aku sering tidak bersungguh-sungguh menatapnya saat ia bicara. Aku tidak mengerti mengapa tumpukan text book lebih menarik syaraf mataku ketimbang indah retinanya. Aku juga tidak mengerti kenapa aku lebih betah berjam-jam ngobrol dengan orang lain daripada mendengarkan celotehannya.
Aku tahu dia kecewa. Untunglah dia bijak. Kekecewaan itu tak pernah membesar. Bahkan seulas senyum selalu menyelinap dibalik penat dan kelelahannya. Aku akan selalu ingat kata-katanya bahwa perhatian kecil yang diberikan pada saat yang tepat akan menumbuhkan cinta yang besar. Nil, kamu cantik sekali hari ini dan akan selalu cantik dimataku. Tak terasa tangan ini bergerak menulis sebait puisi untuknya.

Istriku bukan Khadijah,
yang selalu ada saat Rosul membutuhkan.
Tapi dia hanyalah istri akhir masa
dengan segudang langkah,
yang selalu ingin di samping suami.
Istriku bukan Aisyah,
yang selalu hadir dengan sejuta senyum
dibibir manisnya.
Tapi dia hanyalah istri akhir jaman
dengan sebersit kecemberutan,
yang selalu ingin ceria di depan suami.
Istriku bukan Hafsah,
yang selalu tegas dalam bersikap.
Tapi dia hanyalah istri akhir masa
dengan setumpuk keraguan,
yang selalu ingin tanpa kebimbangan
di hadapan suami.
Istriku bukan Zainab,
yang sodaqohnya melebihi hartanya.
Tapi dia hanyalah istri akhir jaman
dengan secuil rasa pelit,
yang selalu ingin dermawan
dalam menjalani hidupnya.
Istriku bukan Ummu Salamah,
yang memberi ketenangan saat Rosul gelisah.
Tapi dia hanyalah istri akhir masa
dengan selaksa kegalauan,
yang selalu ingin menjadi
telaga kesejukan untuk suami.
Istriku bukan Rahmah,
yang selalu gusar
dengan berbagai kesyirikan.
Tapi dia hanyalah istri akhir jaman
dengan beribu godaan,
yang selalu ingin
memegang teguh ketauhidannya

Tidak ada komentar: